Marlintung Namanya, sebuah desa yang terletak di kota
Setabat ( sumut ). Disana Ria wati dilahirkan tanggal 20 Oktober 1973. Sebuah
desa yang sangat sederhana dengan suasana hangat dan di bumbuhi aktivitas masyarakat
desa, yang setiap paginya pergi kesawah guna untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Giran seorang petani, yang juga ayah dari Ria wati dan istrinya
bernama Tarminah. Mereka harus bekerja keras membajak sawah demi menghidupi
keluarganya. Dengan penuh harap untuk menjadi orang kaya dan bisa meneruskan
sekolah ke Delapan anaknya.
“ Hasil panen yang sedikit,
kekeringan, bahkan gagal panen itu saya rasakan ketika anak ke Delapan saya Ria
wati baru saja lahir berumur 3 bulan, membuat saya khawatir dengan keadaan yang
sangat memprihatinkan “, kata Giran.
Keadaan tersebut tidak membuat Giran
dan istrinya Tarminah patah semangat dalam berusaha dan berdo’a untuk terus
bekerja keras. Sehingga mereka dapat menghadapi semua masalah dan menghidupi
keluarga dengan layak.
Ria wati anak ke Delapan dari
Sebelas bersaudara, jika secara berurutan di antaranya : Katemi, Pairin, Tatik,
Legi, Nursiah, Jumini, Legiem, Ria wati, Boini, Supriadi, dan Megawati. Dari ke
Sebelas bersaudara itu sudah ada yang meninggal dunia. Yaitu, Allmarhummah
Tatik “ Meninggal karena di akibatkan sakit Kaki yang Membengkak disebabkan di
guna-guna oleh orang yang tidak mentukai
keluarga kami “, ujar Ria kepada penulis.
Diantara anak Giran juga ada
beberapa anaknya yang sudah menikah, Katemi anak pertama Giran yang sekarang tinggal bersama suaminya tepat
bersebelahan dengan Giran, anaknya yang bernama Legi juga sudah menikah dan
tiggal di Beras Tagih bersama dengan ke tiga anaknya.
Sedangkan anak Giran yang bernama
Legiem, setelah dia menikah dia tinggal di Pekanbaru Riau bersama suaminya. Kandis
nama Desa tempat mereka tinggal, sebuah desa yang sangat ramai dan banyak
masyarakat desa yang berkebun sawit. Penghasilan mereka lumayan besar dalam 2
minggu mencapai hingga 1 ton. Sama halnya yang di rasakan dengan keluarga Legiem sehingga mereka dapat
menyekolahkan anak pertamanya.
Ria wati, berawal waktu pertama kali
dia bersekolah pada tahun 1980 di SDN 40. Dia sangat berbahagia bersama dengn
teman-temanya, ia berjalan kaki ke sekolah dengan jarak 2km, melewati
rumah-rumah Desa yang sangat biasa dan sederhana. Desa yang sangat ramah
lingkungan, dan setiap pagi selalu banyak penduduk yang pergi ke sawah untuk
melakukan aktivitasnya guna untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Bagi seorang Ria wati, kesan yang
paling menyenangkan ketika sedang istirahat di jam sekolah, dia di ajak salah
satu seorang temanya bernama “ Supati “. Mengajaknya kerumah untuk makan, yang
kebetulan sangat dekat dengan sekolah, hampir setiap hari Suparti mengajak Ria
wati hingga kebersamaan itu menjadikan mereka sebuah sahabat yang sangat akrab “
Dimana ada Ria disitu ada Suparti “
begitulah sekiranya.
Guru
yang paling di sayangi bagi Ria wati, ibu “ Siti Aisyah “ karena beliau sangat baik
dan sabar dalam mengajar, berbeda dengan Bapak “ Sutres “ guru sekaligus Kepala
Sekolah yang sangat kejam, pernah salah satu seorang teman saya yang ribut
ketika sedang belajar, bapak Sutres kemudian menjewer telinga teman saya
tesebut hingga ia menangis. “ujar Ria wati kepada penulis.
Hal itulah yang membuat Ria wati dan
murid-murid lainya tidak menyukai bapak Sutres. Sampai ketika lulus sekolah
pun, pada tahun 1986, Ria wati dan Suparti masih tetap bersama-sama terlebih
lagi jarak rumah mereka yang lumayan dekat sekitar 1km sehingga sehari-hari
mereka selalu bermain bersama.
Sempat
keduanya ingin melanjutkan bersekolah ke SMP yang sama, Namun sayang di sayangkan Suparti tidak bisa melanjutkan ke
sekolah Menengah Pertama ( SMP ). Kerena kedua orang tua Suparti tidak mampu
untuk menyekolahkan Suparti, tentu saja Suparti sangat sedih dengan keadaan
orangtuanya waktu itu. Karena ke inginanya untuk melanjutkan sekolahnya tidak
dapat tercapai, berbeda dengan Ria wati yang akan terus melanjutkan sekolahnya.
Awal masuk SMP Budi Utomo, pada
tahun 1986 di Desa Marlintung kec. Secanggang Ria wati mempunyai perasaan
senang, juga takut karena masih menjadi murid baru. Perkenalanya dengan
teman-teman barunya yaitu : Sisu, Sumardi, dan Wartem. Mereka sangat baik kepada
saya “ kata Ria.
Ria
wati pergi kesekolah bersama salah satu temanya Supardi dengan berboncengan
sepeda. Namun terkadang Ria berjalan kaki sendirian apabila tidak bersama
Supardi, melewati sebuah sungai. Yang di beri nama “ Sungai Beringin “ tersebut
ketika pulang sekolah, tampak ramai ada yang memancing, mandi, cuci baju,
bahkan ada jugu yang membuang hajat.
Baginya
Ria wati, pengalaman yang berkesan ketik bersekolah di SMP Budi Utomo adalah
penduduk sekitar yang sangat baik dan ramah kepada semua anak-anak sekolah
selalu memberikan nasehat-nasehat sehingga kesan saat bersekolah penuh dengan kehangatan perhatian dan
kepedulian penduduk.
Guru
yang sangat di sukai Ria wati dan juga murid-murid lainya adalah Bapak Legimin,
orang yang sangat baik, sopan dan juga sangat tegas, juga tidak pernah marah.
Berbeda dengan Pak Jasmin, beliau kejam, dan suka marah kepada muridnya.
Sangat
jarang sekali, Pak Jasmin memberi senyum kepada siswanya selama beliau
mengajar, sikapnya yang otoriter dan bijaksana itulah yang membuat beliau
menjadi guru yang kejam dimata murid-muridnya.
Dalam menjalani hari-hari kesekolah,
terkadang hanya sedikit ia mendapatkan uang jajan, berbeda dengan teman-teman
yang lain, terlebih lagi jarak kesekolah yang jauh harus di tempuh dengan
berjalan kaki. Begitulah adanya apabila setiap pagi harus berangkat kesekolah
tak pernah mengeluh walau terkadang penat dan rasa capek pergi kesekolah dan pulang.
Tak sampai disitu saja, setiba nya
pulang dari sekolah Ria harus bergegas menyusul ibu dan ayahnya ke sawah.
Sebelum menyusul ia menyiapkan makan siang terlebih dahulu untuk ayah dan
ibunya di sawah. Setiba nya di sawah ia langsung membantu kedua orang tuanya
membajak sawah, dengan senang ia mengerjakanya.
Sembari membantu membajak sawah, Ria
dan ibu nya mencari belut untuk makan malam. Banyak sekali belut yang mereka
dapatkan terkadang lebih dari 12 ekor, hasilnya lumayan besar dan cukup untuk
makan malam keluarga.
Keluarga yang sangat harmonis,
walaupun serba kekurangan, kehidupan yang miskin tidak membuat keluarga ini
berhanti untuk sealalu mengucap rasa syukur kepada Allah SWT. Walaupun begitu
tetap harus berusaha dan berdo’a.
Pernah suatu ketika, “ketika
pagi-pagi sekali saya berangkat kesekolah, dijalan sepatu saya robek “ saya
sangat bingung sekali, sempat saya malu kepada semua teman-teman yang
menertawakan saya. Namun apalah mungkin, dengan keadaan orang tua saya yang
serba kekurangan dapat membelikan sepatu baru. Ujar Ria Wati kepada penulis.
Ke Esokkan harinya Ria pergi
kesekolah memakai sandal karena sepatunya yang robek dan tidak dapat digunakan
lagi. Meskipun begitu Ria harus sabar untuk di belikan sepatu baru sampai tiba
waktunya panen. “mengoko yo nduk, nak wes panen tak tukokno sepatu seng apik”
begitu kata ibu nya Ria, sembari mengelus kepalanya.
Saat musim panen tiba, inilah
saat-saat yang di tunggu oleh Ria agar sang ibu dapat segera membelikanya
sepatu baru. Benar saja, waktu itu tepat pada hari selasa 20 Mei 1988 pukul
00.10 wib. Ria bersama ibunya pergi ke sebuah toko sepatu “Toko Indah Sepatu”.
Letaknya di Desa kampung Beringin, lumayan sangat jauh dari rumah sekitar 4km,
Ria dan ibunya harus pergi dengan menggunakan sepeda.
Sesampainya di toko hatinya pun
sangat senang, dengan cepat Ria berusaha memilih sepatu kesukaanya. Setelah
sepatu yang berharga Rp. 15.00,- Ria dan ibunya pun bergegas untuk pulang
kerumah.
Ke Esokkan paginya, dengan semangat
pagi-pagi sekali dia sudah berangkat sekolah. Di sekolah Ria tidak malu lagi,
dia sangat senang karena teman-temanya yang tadi mengejeknya tapi sekarang
sudah tidak lagi. Dia pun tidak kalu jika untuk diajak bermain bersama.
Begitulah keseharian Ria selama
bersekolah di SMP Budi Utomo, setiap pagi sebelum bel sekolah berbuyi Ria dan
teman-temanya selalu aktif untuk membersihkan kelas. Tidak hanya aktif dalam
membersihkan kelas saja, dalam kelas saat belajar pun mereka juga aktif tidak
heran jika mereka sangat di sukai oleh para guru-guru.
Hampir 3 tahun, Ria dan teman-teman
bersekolah di SMP Budi Utomo. Pada tanggal 10 juni 1989, mereka sedang
menghadapi Ujian Nasional (UN). Hari yang sangat menegangkan dan di penuhi oleh
rasa kecemasan.
“Takut tidak lulus dan mendapatkan
nilai rendah” ujar Ria. Tapi walaupun begitu Ria tetap semangat untuk selalu
giat belajar, sampai mereka juga menghadapi Ujian Akhir Sekolah (UAS). Hal yang
sama juga kembali dirasakan ke khawatiran dan ketegangan saat mereka ujian.